Sistem Pemilu 2024 Tetap Proporsional Terbuka
JAKARTA – Sistem Pemilu 2024 tetap proporsional terbuka. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis (15/6/2023) .
“Berdasarkan UUD RI 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili, dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Kamis. (15/6/2023).
Pada pembacaan putusa, Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya. Dengan adanya putusan uji materi tersebut, maka pada Pemilu 2024, para pemilik suara bisa secara langsung memilih calon legislatif (caleg) yang diinginkan agar bisa menjabat sebagai anggota dewan.
Permohonan pengujian UU Pemilu tersebut diajukan oleh Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono, dan Fahrurrozi. Para Pemohon mengujikan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terhadap UUD 1945.
Pasal-pasal yang diuji tersebut mengenai sistem proporsional dengan daftar terbuka. Para Pemohon pada intinya mendalilkan pemilu yang diselenggarakan dengan sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik. Dengan ditolaknya permohonan ini, maka Pemilu anggota DPR dan DPRD 2024 tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Pendapat Berbeda
Putusan MK dalam perkara pengujian UU Pemilu ini tak lepas dari pandangan berbeda dari hakim lainnya. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan ini. Arief mengatakan, diperlukan evaluasi, perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah empat kali diterapkan. Yakni pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.
IKLAN
Peralihan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan. Sebab, dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh.
Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika, menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat. Adanya potensi konflik yang tajam dalam masyarakat yang berbeda pilihan, terutama di antara masing-masing calon anggota legislatif dan tim suksesnya dalam satu partai yang sama. Atau konflik internal antar calon anggota legislatif dalam satu partai harus berakhir di Mahkamah Konstitusi, karena tidak dapat diselesaikan oleh partainya. Persaingan pun amat liberal.
“Dalam rangka menjaga agar tahapan Pemilu tahun 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029. “Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian,” kata Arief .(red)